tag:blogger.com,1999:blog-36951862501072233632024-02-20T08:04:25.027-08:00Semua Tentang HukumAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/02007490930635304663noreply@blogger.comBlogger1125tag:blogger.com,1999:blog-3695186250107223363.post-2260954844402590872014-05-05T22:33:00.001-07:002014-05-05T22:33:16.736-07:00hukum dan putusan hakim<div class="MsoNormal">
FAKULTAS HUKUM</div>
<div class="MsoNormal">
NAMA : ANIK MAFULA</div>
<div class="MsoNormal">
NIM : 13010212</div>
<div class="MsoNormal">
KELAS : II ( F) SORE</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Jawaban :</div>
<div class="MsoNormal">
1. menurut saya, dengan menganalisis tulisan
tersebut,Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak
boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat
terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu
yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan
manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.</div>
<div class="MsoNormal">
Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum.
Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang
menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang
memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan
perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas.
Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal">
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara
yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap
tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.</div>
<div class="MsoNormal">
Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini tertuang
dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya”.</div>
<div class="MsoNormal">
Sebagai upaya pemenuhan apa yang menjadi kehendak rakyat
ini, dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang salah satunya
adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan
tujuan agar penegakan hukum di Negara ini dapat terpenuhi. Salah satu pasal
dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang berkaitan dengan masalah ini, adalah
pasal 3 ayat (2) berbunyi; “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum
dan keadilan yang berdasarkan Pancasila”.</div>
<div class="MsoNormal">
Secara yuridis normatif, apa yang selama ini dijalankan oleh
para hakim di negara Republik Indonesia ini dan telah menjadi wacana diskusi
baik di kalangan para penegak hukum itu sendiri maupun oleh kalangan masyarakat
pendamba keadilan, sebab bukan rahasia lagi, bahwasanya harapan umumnya
masyarakat yang memasukkan perkaranya ke Pengadilan adalah untuk memperoleh
keadilan. Tapi kenyataannya bukanlah keadilan yang diperoleh, melainkan sekedar
kepastian hukum secara normatif belaka.</div>
<div class="MsoNormal">
Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk disimak sinyalemen
yang dikemukakan oleh Achmad Ali (1999;200) bahwa di kalangan praktisi hukum,
terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar
sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi
dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif,
yang dalam kenyataannya justeru berbeda sama sekali, dengan penggunaan kajian
moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan cenderung dibebani tanggung
jawab yang teramat berat dan nyaris tak terwujudkan, misalnya yang terkandung
di dalam semboyan-semboyan yang sifatnya bombastis seperti; pengadilan adalah
the last resort bagi pencari keadilan, pengadilan adalah ujung tombak keadilan
dan seterusnya.</div>
<div class="MsoNormal">
Menurut Soerjono Soekanto (1993; 5) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum itu, adalah sebagai berikut:</div>
<div class="MsoNormal">
- Faktor
hukumnya sendiri.</div>
<div class="MsoNormal">
- Faktor
penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.</div>
<div class="MsoNormal">
- Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.</div>
<div class="MsoNormal">
- Faktor
masyarakat, yakni lingkungan di mana
hukum tersebut berlaku atau diterapkan.</div>
<div class="MsoNormal">
- Faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia dalam pergaulan hidup.</div>
<div class="MsoNormal">
Hakim sebagai penegak hukum menurut pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang No.4 Tahun 2004 bahwa; “Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.</div>
<div class="MsoNormal">
Dalam penjelasan pasal ini dikatakan; “ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat”. Jadi hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum
yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal">
Hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu;
kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan
(gerechtigkeit) (Sudikno Mertokusumo, 1991; 134).</div>
<div class="MsoNormal">
Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam
hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus
berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini
runtuh namun hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian
hukum.</div>
<div class="MsoNormal">
Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban
masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal">
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat Jangan
sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di
dalam masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal">
Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum hendaklah keadilan diperhatikan. Jadi dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum harus adil. Tetapi hukum tidak identik dengan keadilan.
Hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Contohnya
bahwa barangsiapa yang mencuri harus dihukum, jadi setiap orang yang mencuri
harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Akan tetapi sebaliknya
keadilan itu bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.
Seperti adil menurut Si Anton belum tentu adil menurut Si Dono.</div>
<div class="MsoNormal">
Di dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga
unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional
seimbang. Meskipun dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi
secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut, namun harus berusaha
ke arah itu, karena ketiga unsur itulah merupakan tujuan hukum yang akan
ditegakkan dalam masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal">
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang berwewenang untuk itu
yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang konkrit. (Sudikno Mertokusumo, 1991; 136).</div>
<div class="MsoNormal">
Proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka
menggunakan pembentukan hukum dari pada penemuan hukum, oleh karena istilah
penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada. Namun harus
diketahui bahwa dalam istilah pembentukan hukum oleh hakim sama saja kalau dikatakan penemuan
hukum oleh hakim. Sedang pembentukan hukum oleh suatu lembaga yang berwewenang
itu disebut pembentukan hukum.</div>
<div class="MsoNormal">
Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara, hakim ini dianggap mempunyai wibawa, begitu pula ilmuwan
hukum mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim
adalah hukum, sedang hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum
melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan itu bukanlah hukum,
namun di sini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena doktrin ini
kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya, itu juga akan
menjadi hukum.</div>
<div class="MsoNormal">
Dalam rangka itu, sebagai upaya mengkaji putusan hakim
dengan mempergunakan optik sosiologi hukum, akan didasarkan pada pendapat
beberapa pakar sosiologi hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alvin
S.Johnson (1994;10-11) yang mengutip pendapat Dean Rescoe Pound yang
mengutarakan bahwa; besar kemungkinan kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum
moderen adalah perubahan pandangan analitis ke fungsional. Sikap fungsional
menuntut supaya hakim, ahli hukum dan pengacara harus ingat adanya hubungan
antara hukum dan kenyataan sosial yang hidup, dan tetap memperhatikan hukum
yang hidup dan bergerak, sebab biang ketidakadilan adalah konsep-konsep
kekuasaan yang sewenang-wenang, sebagaimana yang dinyatakan oleh hakim Benjamin
Cardozo, ia melukiskan pembatasan logikanya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang terjadi dalam proses pengadilan
dewasa ini. Keterangan yang dimaksudkan sebelumnya telah dilancarkan oleh hakim
O.W.Holmes, bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan
pengalaman. Pengalaman nyata dari kehidupan sosial yang tidaklah mungkin
diabaikan dalam setiap proses Pengadilan, jika tidak menginginkan proses
tersebut sebagai permainan kata-kata. (Georges Gurvitch, 1996; 2).</div>
<div class="MsoNormal">
Hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan
atau pikirannya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus
menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam
penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Dalam hal ini
hakim diharapkan mampu mengkaji hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Karena terkadang peristiwa konkrit yang terjadi itu, tidak tertulis aturannya dalam peraturan
perundang-undangan.</div>
<div class="MsoNormal">
Masyarakat
mengharapkan bahwa hakim di dalam menjatuhkan putusan hendaklah memenuhi tiga
unsur tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan sebagaimana
halnya pada penegakan hukum.</div>
<div class="MsoNormal">
Menurut Sudikno
Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu
diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga
putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan,
bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu
yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).</div>
<div class="MsoNormal">
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu
ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/ peraturannya. Fiat
justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan
(Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, 43 SM). Adapun nilai sosiologis menekankan
kepada kemanfaatan bagi masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal">
Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus
memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam
melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam
masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai
keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif
dan individualistis.</div>
<div class="MsoNormal">
Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara
teoritis harus mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun
dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap
unsur-unsur tersebut. Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan
hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya
berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsur yuridis (kepastian hukum) dengan
unsur filosofis (keadilan) ditampung didalamnya.</div>
<div class="MsoNormal">
Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul
keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat
mentaati hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang
terjadi memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering
terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat.</div>
<div class="MsoNormal">
Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat
dengan hukum acara, yang mengatur sejak memeriksa dan memutus. Dan hasil
pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk
mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan
utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan, sehingga ketelitian,
kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/ menemukan fakta suatu kasus
merupakan factor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu
tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan
putusan hakim.</div>
<div class="MsoNormal">
Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti
dan jeli dalam memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam
mengambil putusan. Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat
masyarakat. Pendapat masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam
mempertimbangkan suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan
putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum karena disebabkan
sikap tidak profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula
melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu
tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang professional dalam memutus
sebuah perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal">
Seorang hakim dalam
memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan
kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan –
keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan
dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal">
Tujuan hukum adalah untuk mencapai kepada kepastian hukum
dan kemanfaatan hukum serta keadilan, baik
dalam rangka penegakan hukum maupun dalam penemuan hukum. Kebebasan
Hakim terutama di Indonesia masih hanya dalam batas persidangan dalam memutus
perkara.</div>
<div class="MsoNormal">
Penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu
ditanamkan pada setiap insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara
meskipun telah mempunyai polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang
hakim dan menurut rasa keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan
Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Aparat hukum
terutama aparat Pengadilan khususnya hakim harus mengetahui bahwa putusan
Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh
pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan
sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa
mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka
hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para
pencari keadilan tersebut.</div>
<div class="MsoNormal">
Diharapkan kepada para penegak hukum bahwa di dalam proses
pembentukan hukum dan proses penemuan hukum agar dapat mengkaji dan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar dapat tercapai tujuan
hukum.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
2. a. prinsip eksklusi : yaitu asas yang dengannya ilmu
hukum mengandaikan sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem ,yng dengan
itu mengidenifikasikan sistem hukum tersebut.</div>
<div class="MsoNormal">
contoh :Amerika adalah negara yang hanya satu satunya
menjadi negara </div>
<div class="MsoNormal">
adikuasa</div>
<div class="MsoNormal">
b. prinsip subsumsi : adalah asas yang dengannya ilmu hukum
menetapkan hubungan hierarkhis di antara aturan - aturan hukum berdasarkan
sumber legislatif yang lebih tinggi dan lebih rendah</div>
<div class="MsoNormal">
contoh : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah ( TLN RI Tahun 1974 Nomor 38 ) dengan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1979 tentang Pembentukan Desa (LN-RI tahun 1979 Nomor 56).</div>
<div class="MsoNormal">
c. prinsip derogasi : yaitu asas yang berdasarkannya Ilmu
Hukum menolak sebuah aturan , atau sebagian dari sebuah aturan , karena
berkonflik dengan aturan lain yang bersumber dari sumber legislatif yang lebih
tinggi,</div>
<div class="MsoNormal">
contoh : UU PERDA harus sesuai dengan UUD 1945.</div>
<div class="MsoNormal">
3.Hukum non kontradiksi. Hukum non kontradiksi menyatakan
bahwa dua pernyataan yang kontradiktif tidak mungkin benar kedua-duanya pada
saat yang bersamaan dan pengertian yang sama. Jadi “menurut hukum non
kontradiksi A adalah A dan bukan non A pada waktu yang sama dan mengenai hal
yang sama”. Atau seperti yang dikatakan R.C Sproul, “A tidak dapat A dan Non A
pada saat yang sama dan dalam pemahaman yang sama”. Contohnya, seseorang tidak
mungkin berbicara dan sekaligus tidak berbicara pada saat yang bersamaan dan
dalam hubungan yang sama.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
3. kesesatan penalaran hukum:</div>
<div class="MsoNormal">
kesesatan pikir adalah proses penalaran atau argumentasi
yang sebenarnya tidak logis ,salah arah dan menyesatkan, suatu gejala berfikir
yang salah yang di sebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa
memperhatikan relevansinya.</div>
<div class="MsoNormal">
a. </div>
<div class="MsoNormal">
Argumentum ad
baculum</div>
<div class="MsoNormal">
Argumentum ad baculum (latin: baculus berarti tongkat atau
pentungan) adalah argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi
tertentu dengan alasan bahwa jika ia menolak akan membawa akibat yang tidak
diinginkan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Argumentum ad baculum banyak digunakan oleh orang tua agar
anaknya menurut pada apa yang diperintahkan, contoh menakut-nakuti anak kecil:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Bila tidak mau mandi nanti didatangi oleh wewe gombel
(sejenis hantu yang mengerikan).</div>
<div class="MsoNormal">
Argumen ini dikenal juga dengan argumen ancaman yang
merupakan pernyataan atau keadaan yang mendesak orang untuk menerima suatu
konklusi tertentu dengan alasan jika menolak akan membawa akibat yang tidak
diinginkan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh argumentum ad baculum:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Seorang anak yang belajar bukan karena ia ingin lebih pintar
tapi karena kalau ia tidak terlihat sedang belajar, ibunya akan datang dan
mencubitnya.</div>
<div class="MsoNormal">
Pengendara motor yang berhenti pada lampu merah bukan karena
ia menaati peraturan tetapi karena ada polisi yang mengawasi dan ia takut
ditilang.</div>
<div class="MsoNormal">
Pegawai bagian penawaran yang berbohong kepada pembeli agar
produk yang ia jual laku, karena ia takut dipecat bila ia tidak melakukan
penjualan.</div>
<div class="MsoNormal">
Jenis argumentum ad baculum yang juga dapat terjadi adalah
mengajukan gagasan (yang seringkali bersifat tuntutan) agar didengar dan
dipenuhi oleh pihak penguasa, namun gagasan itu didasari oleh penalaran yang
samasekali irasional dan argumen yag dikemukakan tidak memperlihatkan hubungan
logis antara premis dan kesimpulannya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Penolakan mahasiswa akan skripsi sebagai syarat kelulusan
dengan alasan skripsi mahal dan menjadi "akal-akalan" dosen.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
b. Argumentum ad
Hominem Tipe I (abusif)</div>
<div class="MsoNormal">
Argumentum ad Hominem Tipe I adalah argumen diarahkan untuk
menyerang manusianya secara langsung. Penerapan argumen ini dapat menggambarkan
tindak pelecehan terhadap pribadi individu yang menyatakan sebuah argumen.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Hal ini keliru karena ukuran logika dihubungkan dengan
kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang yang sebenarnya tidak
relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Argumen ini juga dapat menggambarkan aspek penilaian
psikologis terhadap pribadi seseorang. Hal ini dapat terjadi karena perkbedaan
pandangan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir argumentum ad
hominem jenis ini adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal yang
melibatkan: gender, fisik, sifat, dan psikologi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh 1:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tidak diminta mengganti bohlam (bola lampu) karena seseorang
itu pendek.</div>
<div class="MsoNormal">
Kesesatan: tingkat keberhasilan pergantian sebuah bola lampu
dengan menggunakan alat bantu tangga tidak tergantung dari tinggi/ pendeknya
seseorang.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh 2:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Seorang juri lomba menyanyi memilih kandidat yang cantik
sebagai pemenang, bukan karena suaranya yang bagus tapi karena parasnya yang
lebih cantik dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun suara kandidat lain
ada yang lebih bagus</div>
<div class="MsoNormal">
Argumentum ad Hominem Tipe II (sirkumstansial)[sunting |
sunting sumber]</div>
<div class="MsoNormal">
Berbeda dari argumentum ad hominem Tipe I, ad hominem Tipe
II menitikberatkan pada perhubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan
hidupnya. Pada umumnya ad hominem Tipe II menunjukkan pola pikir yang diarahkan
pada pengutamaan kepentingan pribadi, sebagai contoh: suka-tidak suka,
kepentingan kelompok-bukan kelompok, dan hal-hal yang berkaitan dengan SARA.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh 3:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pembicara G: Saya tidak setuju dengan apa yang Pembicara S
katakan karena ia bukan orang Islam [4]</div>
<div class="MsoNormal">
Kesesatan: ketidak setujuan bukan karena hasil penalaran
dari argumentasi, tetapi karena lawan bicara berbeda agama.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Bila ada dua orang yang terlibat dalam sebuah konflik atau
perdebatan, ada kemungkinan masing-masing pihak tidak dapat menemukan titik
temu dikarenakan mereka tidak mengetahui apakah argumen masing-masing itu benar
atau keliru. Hal ini terjadi ketika masing-masing pihak beragumen atas dasar
titik tolak dari ruang lingkup yang berbeda satu sama lain.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh 4:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Argumentasi apakah Isa adalah Tuhan Yesus (Kristen) ataukah
seorang nabi (Islam).</div>
<div class="MsoNormal">
Ini adalah sebuah contoh argumentasi yang tidak akan
menemukan titik temu karena berangkat dari keyakinan dan ilmu agama yang
berbeda</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh 5:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya karena mahasiswanya
berasal dari suku yang ia tidak suka dan sering protes di kelas, bukan karena
prestasi akademiknya yang buruk.</div>
<div class="MsoNormal">
Argumentum ad hominem Tipe I dan II adalah
argumentasi-argumentasi yang mengarah kepada hal-hal negatif dan biasanya
melibatkan emosi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
c. Argumentum ad
ignoratiam</div>
<div class="MsoNormal">
Adalah kesesatan yang terjadi dalam suatu pernyataan yang
dinyatakan benar karena kesalahannya tidak terbukti salah, atau mengatakan
sesuatu itu salah karena kebenarannya tidak terbukti ada.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh 1:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Saya belum pernah lihat Tuhan, setan, dan hantu; sudah pasti
mereka tidak ada.</div>
<div class="MsoNormal">
Contoh 2:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Karena tidak ada yang berdemonstrasi, saya anggap semua
masyarakat setuju kenaikan BBM.</div>
<div class="MsoNormal">
Contoh 3:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Diamnya pemerintah atas tuduhan konspirasi, berarti sama
saja menjawab "ya". (padahal belum tentu)</div>
<div class="MsoNormal">
Pernyataan diatas merupakan sesat pikir karena belum tentu
bila seseorang tidak mengetahui sesuatu itu ada/ tidak bukan berarti sesuatu
itu benar-benar tidak ada.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
d. Argumentum ad
misericordiam</div>
<div class="MsoNormal">
(Latin: misericordia artinya belas kasihan) adalah sesat
pikir yang sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan
bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan/ keinginan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pengemis yang membawa anak bayi tanpa celana dan
digeletakkan tidur di trotoar.</div>
<div class="MsoNormal">
Pencuri motor yang beralasan bahwa ia miskin dan tidak bisa
membeli sandang dan pangan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
e. Argumentum ad
populum</div>
<div class="MsoNormal">
(Latin: populus berarti rakyat atau massa) Argumentum ad
populum adalah argumen yang menilai bahwa sesuatu pernyataan adalah benar
karena diamini oleh banyak orang.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Satu juta orang Indonesia menggunakan jasa layanan seluler
X, maka sudah pasti itu layanan yang bagus.</div>
<div class="MsoNormal">
Semua orang yang saya kenal bersikap pro Presiden. Maka saya
juga tidak akan mengkritik Presiden.</div>
<div class="MsoNormal">
Mana mungkin agama yang saya anut salah, lihat saja jumlah
penganutnya paling banyak di muka bumi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
f. Argumentum
auctoritatis (alias: Argumentum ad Verecundiam)</div>
<div class="MsoNormal">
(Latin: auctoritas berarti kewibawaan) adalah sesat pikir
dimana nilai penalaran ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang
mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya
karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena
keahliannya [5].</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan sesuatu
yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan penalaran sebagaimana
mestinya, melainkan tergantung dari siapa yang mengatakannya (kewibawaan
seseorang).</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Argumentasi ini mirip dengan argumentum ad hominem, bedanya
dalam argumentum ad hominem yang menjadi acuan adalah pribadi orang yang
menyampaikan gagasan (dilihat dari disenangi/ tidak disenangi), maka dalam
argumentum auctoritatis ini dilihat dari siapa (posisinya dalam masyarakat/
keahlianny\a/ kewibawaannya) yang mengemukakan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Contoh:</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Apa yang dikatakan ulama A pada kampanye itu pasti benar.</div>
<div class="MsoNormal">
Apa yang dikatakan pastor B dalam iklan itu pasti benar.</div>
<div class="MsoNormal">
Apa yang dikatakan Rhoma Irama pasti benar.</div>
<div class="MsoNormal">
Apa yang dikatakan pak dokter pasti benar.</div>
<br />
<div class="MsoNormal">
"Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan
benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang brilian, seorang tokoh yang
sangat dihormati, dan seorang dokter yang jenius" </div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02007490930635304663noreply@blogger.com0