Senin, 05 Mei 2014

hukum dan putusan hakim

FAKULTAS HUKUM
NAMA : ANIK MAFULA
NIM    : 13010212
KELAS : II ( F) SORE

Jawaban :
1. menurut saya, dengan menganalisis tulisan tersebut,Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini tertuang dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya”.
Sebagai upaya pemenuhan apa yang menjadi kehendak rakyat ini, dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan tujuan agar penegakan hukum di Negara ini dapat terpenuhi. Salah satu pasal dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang berkaitan dengan masalah ini, adalah pasal 3 ayat (2) berbunyi; “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila”.
Secara yuridis normatif, apa yang selama ini dijalankan oleh para hakim di negara Republik Indonesia ini dan telah menjadi wacana diskusi baik di kalangan para penegak hukum itu sendiri maupun oleh kalangan masyarakat pendamba keadilan, sebab bukan rahasia lagi, bahwasanya harapan umumnya masyarakat yang memasukkan perkaranya ke Pengadilan adalah untuk memperoleh keadilan. Tapi kenyataannya bukanlah keadilan yang diperoleh, melainkan sekedar kepastian hukum secara normatif belaka.
Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk disimak sinyalemen yang dikemukakan oleh Achmad Ali (1999;200) bahwa di kalangan praktisi hukum, terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justeru berbeda sama sekali, dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan cenderung dibebani tanggung jawab yang teramat berat dan nyaris tak terwujudkan, misalnya yang terkandung di dalam semboyan-semboyan yang sifatnya bombastis seperti; pengadilan adalah the last resort bagi pencari keadilan, pengadilan adalah ujung tombak keadilan dan seterusnya.
Menurut Soerjono Soekanto (1993; 5) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu, adalah sebagai berikut:
-          Faktor hukumnya sendiri.
-          Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
-           Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
-          Faktor masyarakat, yakni  lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
-          Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Hakim sebagai penegak hukum menurut pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 bahwa; “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Dalam penjelasan pasal ini dikatakan; “ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Jadi hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu; kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit) (Sudikno Mertokusumo, 1991; 134).
Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum.
Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.
Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum hendaklah keadilan diperhatikan. Jadi dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Tetapi hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Contohnya bahwa barangsiapa yang mencuri harus dihukum, jadi setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Akan tetapi sebaliknya keadilan itu bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Seperti adil menurut Si Anton belum tentu adil menurut Si Dono.
Di dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Meskipun dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut, namun harus berusaha ke arah itu, karena ketiga unsur itulah merupakan tujuan hukum yang akan ditegakkan dalam masyarakat.
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang berwewenang untuk itu yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. (Sudikno Mertokusumo, 1991; 136).
Proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan pembentukan hukum dari pada penemuan hukum, oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada. Namun harus diketahui bahwa dalam istilah pembentukan hukum oleh  hakim sama saja kalau dikatakan penemuan hukum oleh hakim. Sedang pembentukan hukum oleh suatu lembaga yang berwewenang itu disebut pembentukan hukum.
Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, hakim ini dianggap mempunyai wibawa, begitu pula ilmuwan hukum mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim adalah hukum, sedang hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan itu bukanlah hukum, namun di sini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya, itu juga akan menjadi hukum.
Dalam rangka itu, sebagai upaya mengkaji putusan hakim dengan mempergunakan optik sosiologi hukum, akan didasarkan pada pendapat beberapa pakar sosiologi hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alvin S.Johnson (1994;10-11) yang mengutip pendapat Dean Rescoe Pound yang mengutarakan bahwa; besar kemungkinan kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum moderen adalah perubahan pandangan analitis ke fungsional. Sikap fungsional menuntut supaya hakim, ahli hukum dan pengacara harus ingat adanya hubungan antara hukum dan kenyataan sosial yang hidup, dan tetap memperhatikan hukum yang hidup dan bergerak, sebab biang ketidakadilan adalah konsep-konsep kekuasaan yang sewenang-wenang, sebagaimana yang dinyatakan oleh hakim Benjamin Cardozo, ia melukiskan pembatasan logikanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang terjadi dalam proses pengadilan dewasa ini. Keterangan yang dimaksudkan sebelumnya telah dilancarkan oleh hakim O.W.Holmes, bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman. Pengalaman nyata dari kehidupan sosial yang tidaklah mungkin diabaikan dalam setiap proses Pengadilan, jika tidak menginginkan proses tersebut sebagai permainan kata-kata. (Georges Gurvitch, 1996; 2).
Hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Dalam hal ini hakim diharapkan mampu mengkaji hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Karena terkadang peristiwa konkrit yang terjadi itu,  tidak tertulis aturannya dalam peraturan perundang-undangan.
 Masyarakat mengharapkan bahwa hakim di dalam menjatuhkan putusan hendaklah memenuhi tiga unsur tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan sebagaimana halnya pada penegakan hukum.
   Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/ peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan (Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, 43 SM). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.
Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis.
Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis harus mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-unsur tersebut. Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsur yuridis (kepastian hukum) dengan unsur filosofis (keadilan) ditampung didalamnya.
Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat.
Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memeriksa dan memutus. Dan hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan, sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/ menemukan fakta suatu kasus merupakan factor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan putusan hakim.
Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan. Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat masyarakat. Pendapat masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam mempertimbangkan suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum karena disebabkan sikap tidak profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang professional dalam memutus sebuah perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.
   Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.
 Tujuan hukum  adalah untuk mencapai kepada kepastian hukum dan kemanfaatan hukum serta keadilan, baik  dalam rangka penegakan hukum maupun dalam penemuan hukum. Kebebasan Hakim terutama di Indonesia masih hanya dalam batas persidangan dalam memutus perkara.
Penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada setiap insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara meskipun telah mempunyai polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Aparat hukum terutama aparat Pengadilan khususnya hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.
Diharapkan kepada para penegak hukum bahwa di dalam proses pembentukan hukum dan proses penemuan hukum agar dapat mengkaji dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar dapat tercapai tujuan hukum.

2. a. prinsip eksklusi : yaitu asas yang dengannya ilmu hukum mengandaikan sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem ,yng dengan itu mengidenifikasikan sistem hukum tersebut.
contoh :Amerika adalah negara yang hanya satu satunya menjadi negara
adikuasa
b. prinsip subsumsi : adalah asas yang dengannya ilmu hukum menetapkan hubungan hierarkhis di antara aturan - aturan hukum berdasarkan sumber legislatif yang lebih tinggi dan lebih rendah
contoh : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah ( TLN RI Tahun 1974 Nomor 38 ) dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pembentukan Desa (LN-RI tahun 1979 Nomor 56).
c. prinsip derogasi : yaitu asas yang berdasarkannya Ilmu Hukum menolak sebuah aturan , atau sebagian dari sebuah aturan , karena berkonflik dengan aturan lain yang bersumber dari sumber legislatif yang lebih tinggi,
contoh : UU PERDA harus sesuai dengan UUD 1945.
3.Hukum non kontradiksi. Hukum non kontradiksi menyatakan bahwa dua pernyataan yang kontradiktif tidak mungkin benar kedua-duanya pada saat yang bersamaan dan pengertian yang sama. Jadi “menurut hukum non kontradiksi A adalah A dan bukan non A pada waktu yang sama dan mengenai hal yang sama”. Atau seperti yang dikatakan R.C Sproul, “A tidak dapat A dan Non A pada saat yang sama dan dalam pemahaman yang sama”. Contohnya, seseorang tidak mungkin berbicara dan sekaligus tidak berbicara pada saat yang bersamaan dan dalam hubungan yang sama.

3. kesesatan penalaran hukum:
kesesatan pikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis ,salah arah dan menyesatkan, suatu gejala berfikir yang salah yang di sebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya.
a.
     Argumentum ad baculum
Argumentum ad baculum (latin: baculus berarti tongkat atau pentungan) adalah argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan bahwa jika ia menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan.

Argumentum ad baculum banyak digunakan oleh orang tua agar anaknya menurut pada apa yang diperintahkan, contoh menakut-nakuti anak kecil:

Bila tidak mau mandi nanti didatangi oleh wewe gombel (sejenis hantu yang mengerikan).
Argumen ini dikenal juga dengan argumen ancaman yang merupakan pernyataan atau keadaan yang mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan jika menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan.

Contoh argumentum ad baculum:

Seorang anak yang belajar bukan karena ia ingin lebih pintar tapi karena kalau ia tidak terlihat sedang belajar, ibunya akan datang dan mencubitnya.
Pengendara motor yang berhenti pada lampu merah bukan karena ia menaati peraturan tetapi karena ada polisi yang mengawasi dan ia takut ditilang.
Pegawai bagian penawaran yang berbohong kepada pembeli agar produk yang ia jual laku, karena ia takut dipecat bila ia tidak melakukan penjualan.
Jenis argumentum ad baculum yang juga dapat terjadi adalah mengajukan gagasan (yang seringkali bersifat tuntutan) agar didengar dan dipenuhi oleh pihak penguasa, namun gagasan itu didasari oleh penalaran yang samasekali irasional dan argumen yag dikemukakan tidak memperlihatkan hubungan logis antara premis dan kesimpulannya.

Penolakan mahasiswa akan skripsi sebagai syarat kelulusan dengan alasan skripsi mahal dan menjadi "akal-akalan" dosen.

b.  Argumentum ad Hominem Tipe I (abusif)
Argumentum ad Hominem Tipe I adalah argumen diarahkan untuk menyerang manusianya secara langsung. Penerapan argumen ini dapat menggambarkan tindak pelecehan terhadap pribadi individu yang menyatakan sebuah argumen.

Hal ini keliru karena ukuran logika dihubungkan dengan kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya.

Argumen ini juga dapat menggambarkan aspek penilaian psikologis terhadap pribadi seseorang. Hal ini dapat terjadi karena perkbedaan pandangan.

Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir argumentum ad hominem jenis ini adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal yang melibatkan: gender, fisik, sifat, dan psikologi.

Contoh 1:

Tidak diminta mengganti bohlam (bola lampu) karena seseorang itu pendek.
Kesesatan: tingkat keberhasilan pergantian sebuah bola lampu dengan menggunakan alat bantu tangga tidak tergantung dari tinggi/ pendeknya seseorang.

Contoh 2:

Seorang juri lomba menyanyi memilih kandidat yang cantik sebagai pemenang, bukan karena suaranya yang bagus tapi karena parasnya yang lebih cantik dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun suara kandidat lain ada yang lebih bagus
Argumentum ad Hominem Tipe II (sirkumstansial)[sunting | sunting sumber]
Berbeda dari argumentum ad hominem Tipe I, ad hominem Tipe II menitikberatkan pada perhubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Pada umumnya ad hominem Tipe II menunjukkan pola pikir yang diarahkan pada pengutamaan kepentingan pribadi, sebagai contoh: suka-tidak suka, kepentingan kelompok-bukan kelompok, dan hal-hal yang berkaitan dengan SARA.

Contoh 3:

Pembicara G: Saya tidak setuju dengan apa yang Pembicara S katakan karena ia bukan orang Islam [4]
Kesesatan: ketidak setujuan bukan karena hasil penalaran dari argumentasi, tetapi karena lawan bicara berbeda agama.

Bila ada dua orang yang terlibat dalam sebuah konflik atau perdebatan, ada kemungkinan masing-masing pihak tidak dapat menemukan titik temu dikarenakan mereka tidak mengetahui apakah argumen masing-masing itu benar atau keliru. Hal ini terjadi ketika masing-masing pihak beragumen atas dasar titik tolak dari ruang lingkup yang berbeda satu sama lain.

Contoh 4:

Argumentasi apakah Isa adalah Tuhan Yesus (Kristen) ataukah seorang nabi (Islam).
Ini adalah sebuah contoh argumentasi yang tidak akan menemukan titik temu karena berangkat dari keyakinan dan ilmu agama yang berbeda

Contoh 5:

Dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya karena mahasiswanya berasal dari suku yang ia tidak suka dan sering protes di kelas, bukan karena prestasi akademiknya yang buruk.
Argumentum ad hominem Tipe I dan II adalah argumentasi-argumentasi yang mengarah kepada hal-hal negatif dan biasanya melibatkan emosi.

c.  Argumentum ad ignoratiam
Adalah kesesatan yang terjadi dalam suatu pernyataan yang dinyatakan benar karena kesalahannya tidak terbukti salah, atau mengatakan sesuatu itu salah karena kebenarannya tidak terbukti ada.

Contoh 1:

Saya belum pernah lihat Tuhan, setan, dan hantu; sudah pasti mereka tidak ada.
Contoh 2:

Karena tidak ada yang berdemonstrasi, saya anggap semua masyarakat setuju kenaikan BBM.
Contoh 3:

Diamnya pemerintah atas tuduhan konspirasi, berarti sama saja menjawab "ya". (padahal belum tentu)
Pernyataan diatas merupakan sesat pikir karena belum tentu bila seseorang tidak mengetahui sesuatu itu ada/ tidak bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada.

d.  Argumentum ad misericordiam
(Latin: misericordia artinya belas kasihan) adalah sesat pikir yang sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan/ keinginan.

Contoh:

Pengemis yang membawa anak bayi tanpa celana dan digeletakkan tidur di trotoar.
Pencuri motor yang beralasan bahwa ia miskin dan tidak bisa membeli sandang dan pangan.

e.  Argumentum ad populum
(Latin: populus berarti rakyat atau massa) Argumentum ad populum adalah argumen yang menilai bahwa sesuatu pernyataan adalah benar karena diamini oleh banyak orang.

Contoh:

Satu juta orang Indonesia menggunakan jasa layanan seluler X, maka sudah pasti itu layanan yang bagus.
Semua orang yang saya kenal bersikap pro Presiden. Maka saya juga tidak akan mengkritik Presiden.
Mana mungkin agama yang saya anut salah, lihat saja jumlah penganutnya paling banyak di muka bumi.

f.   Argumentum auctoritatis (alias: Argumentum ad Verecundiam)
(Latin: auctoritas berarti kewibawaan) adalah sesat pikir dimana nilai penalaran ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena keahliannya [5].

Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, melainkan tergantung dari siapa yang mengatakannya (kewibawaan seseorang).

Argumentasi ini mirip dengan argumentum ad hominem, bedanya dalam argumentum ad hominem yang menjadi acuan adalah pribadi orang yang menyampaikan gagasan (dilihat dari disenangi/ tidak disenangi), maka dalam argumentum auctoritatis ini dilihat dari siapa (posisinya dalam masyarakat/ keahlianny\a/ kewibawaannya) yang mengemukakan.

Contoh:

Apa yang dikatakan ulama A pada kampanye itu pasti benar.
Apa yang dikatakan pastor B dalam iklan itu pasti benar.
Apa yang dikatakan Rhoma Irama pasti benar.
Apa yang dikatakan pak dokter pasti benar.

"Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang brilian, seorang tokoh yang sangat dihormati, dan seorang dokter yang jenius"          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar